"Jakarta for better city"

Suami-suami takut istri : profil warga DKI


Sudah pernah lihat tayangannya ? Wajar , berlebihan , terlalu dibuat-buat atau kultur budaya ? Jargon “Makanya jangan macem-macem sama perempuan” mewakili emansipasi?. Suguhan yang semuanya pas : Bagi yang suka humor, pasti suka menonton komedi situasi pelepas lelah yang ditayangkan Trans TV dari Senin sampai Jum’at pukul 18.00-19.00 WIB ini. Memasuki episode yang sudah lebih dari 100, sejak tayangan perdana 15 Oktober 2007, SSTI arahan sutradara Sofyan de Surza dan diproduseri oleh Anjasmara, merupakan tontotan yang pas sebagai pengganti komedi situasi sebelumnya “Bajaj Bajuri”. Menjadi pas sebagai hiburan untuk tertawa, berseloroh, bercermin dan dimaknai.

SSTI terdengar miring, menuai protes keras pemirsa ke KPI dan Komnas Perempuan ,seluruhnya mengkritisi tentang siaran yang katanya tidak mendidik. Ada pula seorang Bupati yang menghimbau warganya agar tidak menonton acara ini. Siratan positif seharusnya nampak dari ketidakinginan kita kepada sesuatu yang berbau negatif. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat dan mencernanya.

SSTI merupakan profil warga DKI (Di bawah Kendali Istri), memang layak untuk komsumsi DKI . Tayangan ini merupakan pencerminan warga perkotaan khususnya Jakarta. Ibukota yg ganas digambarkan dengan tokoh ibu-ibu yg tak kenal kompromi… seenaknya… berlebihan…keterlaluan …dan cenderung kejam. Ibukota sbg penguasa begitu punya peranan, bisa membuat warganya patuh, berhak menjewer, bisa menghukum tapi bisa diajak diskusi . Tidak hanya itu ibukota punya rasa keibuan ,mengayomi, tenggang rasa , merasa bersalah dan tanpa segan meminta maaf. Semua campur aduk dalam lakon berlatar ekonomi sebagai sumber utamanya.

Adegan warga dengan berbagai macam etnis ini memiliki sifat bawaan pemeran dan tradisi masing-masing. Berbagai macam profesi yang dilakoni merupakan realita warga kota . Mang Dadang sebagai oknum aparat yang “sedikit-sedikit uang”, jarang mau bertanggung jawab dan sebagai keamanan malah sering memicu masalah. Namun Mang Dadang juga berlaku sebagai aparat yang benar. Tak hanya punya ide cemerlang plus solusinya, tapi juga bisa merangkul 3 istrinya yang multi etnis agar mereka mau patuh dan percaya. Pak RT sebagai pamong dengan segala urusan administrasinya harus menggunakan uang , masih didengar dan dihargai sbg orang tua . Profil warga dan aparat berserta oknum dalam multi lakon yang kontras dan lucu untuk ditonton.

Belum lagi visualisasi karakter anak-anak di sekitar kita : ada Karla yang selalu dimanjakan dengan uang menjadikannya anak borjuis. Namun, Karla juga butuh teman, butuh bimbingan dan mendambakan keharmonisan orang tuanya. Dia juga pintar dan kritis. Ada juga Lila yang lebih suka SMS-an daripada belajar. Lain lagi anak-anak yg dikomersilkan untuk mendapatkan uang, seperti 3 anak Mang Dadang. Semua profil anak-anak itu nyata tanpa sadar oleh bentukan-bentukan kita sendiri atau merupakan ekploitasi anak. Justeru itu kita dituntut untuk mendampingi putra-putri kita saat menonton

Coba lihat: welas orang jawa yang dispelekan karena lambat tapi kadang punya jurus jitu, dan mbak Pretty “janda ikan asin” yang selalu berniat baik tapi selalu dianggap negatif . Pelecehan dan sebuah sample keikhlasan yang selalu dilekatkan pada citra negatif. Itulah gambaran watak kita dari sebuah komunitas multi dimensi. Sinetron ini punya masalah keseharian yang tak kunjung selesai dan ada di depan mata. Situasi yg membuat pelakon untuk berpikir dan bertindak dalam menghadapi persoalan yang sedang trend sehingga menarik untuk dicermati. Pesan tentang banyak anak dengan sulitnya ekonomi juga diadaptasi sebagai tokoh Mang Dadang.

Solusi masalah dimunculkan berupa trik yang mudah dan singkat yaitu kesadaran para tokoh yang melakoninya. Entah apa yang dipikirkan sang pembuat skenario sehingga membuat kita merasa perlu mengapresiasi. Kompleks di dalam komplek begitu tepatnya: ada warga, ada aparat, ada lingkungan , ada etnis, ada profesi, ada perilaku, ada oknum, ada masalah dan ada solusi .Semua lengkap yang dikemas dalam miniaturnya, mengajak kita berkaca melihat diri sendiri untuk perbaikan sebuah komunitas. Yang sering berkaca pasti akan lebih memiliki wajah yang rupawan. Mari berkaca Jakarta !!(DPH)

2 responses

  1. Alfian

    Tulisan-tulisan sudah bagus Ko, terus berkarya, kalo bisa lanjutkan menulis di media massa, agar selain komunitas maya, komunitas lainnya juga dapat menikmati tulisan yang ada.

    July 15, 2008 at 3:14 PM

  2. Bhoiem bunyu

    Artikel yg bgus bget,aq jg pnggemar bratnya SSTI krn bnyak pljrn yg bsa d ambl dr crtanya,pa

    November 25, 2008 at 6:37 PM

Leave a reply to Alfian Cancel reply