"Jakarta for better city"

MLM atau “MLM”


Sejak hantaman badai krisis di tahun 1998, jumlah pengangguran dari tahun ke tahun kian meningkat. Kapasitas pencari kerja tidak sepadan dengan jumlah lahan pekerjaan, belum lagi banyaknya perusahaan yang bangkrut menjadi pemicu rumitnya permasalahan bagi peningkatan taraf hidup rakyat. Dari situ bisnis MLM (Multi Level Marketing / Pemasaran Multi Tingkat) ,menjadi alternatif sebagai lahan garapan. Bisnis ini sebetulnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1980 dan menjadi booming ketika makin terpuruknya perekonomian Indonesia. Sayangnya dalam perjalanan bisnis ini dinodai dengan merajalelanya bisnis “MLM” (Multi Lying Marketing / Pemasaran Multi Penipuan). Akhirnya bisnis ini merugikan banyak pihak dan memperburuk citra bisnis MLM murni. Masyarakat cenderung menilai semua MLM sebagai bisnis akal-akalan dan merupakan mahluk penghisap darah rakyat.

MLM dengan sistem penjualan langsungnya (direct selling) memiliki produk unik dan ekslusif . Dikarenakan modal dan resikonya kecil, serta fleksibelitasnya terhadap waktu , tempat, tingkat pendidikan serta status sosial seseorang, sehingga memiliki ketertarikan tersendiri dibandingkan bisnis waralaba. atau viral marketing bagi masyarakat. Tetapi faktor psikologi yang terjadi di masyarakat mengisyaratkan bahwa tujuan MLM bukan lagi sebagai mitra usaha melainkan merupkan jalan singkat mencapai kekayaan tanpa kerja keras. Dengan kata lain hanya cukup menjual air liur untuk merekrut orang lain sebagai anggota dan uangpun akan mengalir. Racun “MLM” (MLM dengan tanda kutip) memang telah merasuki dan menjangkiti benak masyarakat. Dan dampak antipati terhadap bisnis MLM murni ini telah memperlambat berkembangnya perekonomian berbasiskan kemitraan mandiri di Indonesia.

Sebetulnya pemasaran langsung melalui MLM adalah cara efektif guna memangkas biaya promosi dan pemberian gaji bagi para pekerja pemasaran yang seharusnya dibiayai dan terikat oleh perusahaan. Sistem pemberian komisi serta bonus yang diberikan kepada anggotanya menggunakan kedua faktor biaya yang tadinya harus dikeluarkan perusahaan pemilik produk barang atau jasa. Perbanyakan jumlah mitra usaha biasanya menggunakan sistem piramida. Sehingga jaringan yang kemudian terbentuk dari anggotanya, akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perusahaan. Sistem piramida ini kemudian seringkali diadopsi oleh “MLM”, sehingga melahirkan raja-raja kecil yang hanya berfokus pada downline (perekrutan anggota di bawahnya) untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Bentuk ini dikenal dengan arisan berantai dengan sistem permainan uangnya (money game). Sudah banyak korban berjatuhan dari kejahatan tersebut diantaranya para korban Arisan Danasonic, Kospin, Ongko, dll. Belum lagi bisnis penanaman modal dengan sistem bagi hasil di bidang pertanian, perikanan, kontraktor, perbankan ,dsb. Para pengelolanya menjanjikan keuntungan dengan proposalnya yang masuk akal, tetapi hasilnya anggotanya banyak yang kehilangan akal setelah bulan ke sekian. Semua hal tersebut telah menimbulkan trauma berkepanjangan di masyarakat. Mendengar kata MLM perut serasa mual dan tubuh mengeluarkan keringat dingin.

Melihat gejala yang mengkhawatirkan, pemerintah melalui Menteri Perdagangan merasa perlu mengeluarkan peraturan nomor 13/M-DAG/PER/3/2006 tentang “Ketentuan dan Tata cara penerbitan Surat Izin Penjualan Langsung (SIUPL)”. Perusahaan MLM juga memiliki wadah dalam bentuk Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) yang berkantor pusat di Jakarta. APLI yang berawal dari pembentukan IDSA (Indonesian Direct Selling Association) di tahun 1984 merupakan satu-satunya asosiasi yang diakui Federasi Asosiasi Penjualan Langsung Internasional / WFDSA (World Federation of Direct Selling Association). Dari sekitar 200 MLM yang beroperasi di Indonesia hingga saat ini, baru 55 perusahaan MLM terdaftar sebagai anggota APLI. Sayangnya APLI belum sepenuhnya dapat menjadi pedoman. Pada pelaksanaannya APLI masih harus bersifat netral dan melakukan uji kelayakan berkesinambungan. Dengan demikian beberapa perusahaan MLM terdaftar yang nakal dan telah mendapat laporan merugikan, bisa dicoret sebagai anggota untuk kemudian dipublikasikan ke masyarakat luas. Dengan sinergi dan sosialisasi kedua perangkat di atas, masyarakat akan merasa terlindungi dan tidak terjebak bisnis yang akhirnya menyengsarakan.

Buka mata, intinya semua dikembalikan kepada setiap individu. Keberhasilan didapat melalui kemauan kuat dan proses kerja keras melalui berbagai cara baik yang sesuai dengan kemampuan. Sangat disayangkan, jika masyarakat hanya melihat keuntungan yang besar dan seolah olah tanpa usaha keras. Seorang anggota MLM murni bisa memetik hasil dari kemauan dan kerja kerasnya dalam memanage jaringannya untuk menjual produk barang atau jasa dari perusahaan bersangkutan. Bukan hal mudah bagi seseorang anggota MLM untuk memiliki penghasilan besar melalui hasil kerja kerasnya dalam sebuah perusahaan MLM. Dan juga bukan hal yang sulit untuk menghindari atau mengatakan tidak jika kita ditawarkan menjadi anggota MLM yang tidak akan pernah kita yakini kebenarannya . (DPH)

One response

  1. Alfian

    Wah, makin ok aja nih tulisannya.
    Terus berkarya kawan…

    Barangkali melalui tulisan, masa depan yang lebih baik akan dijelang.

    November 7, 2008 at 9:01 AM

Leave a comment